Monday, July 4, 2011

Sepenggal Keprihatinan tentang pilihanku


Pada suatu hari, seorang ibu bertanya kepadaku beberapa saat setelah liburan kenaikan kelas .
“ Mbak Lia ambil jurusan apa? Pasti IPA? Duh pinternya...”
“ Ndak kok buk, saya ambil bahasa..”
“Lho kok malah bahasa? Wong pinter kok ambilnya bahasa? Bukannya nanti kalau lulus anak jurusan IPA lebih terjamin masa depannya?”
“Eh..bukan begitu..”
“Saya dengar di SMA 1 itu persaingannya ketat ya,” potongnya. “Dulu anaknya keponakan saya mau masuk di situ, tapi takut kalau kalah sama anak-anak pinter yang lain, jadinya ya lari ke swasta,”
Iya buk, saya tahu, saya kan sekolah di sana, batinku.
         “Biaya di sana itu mahal ya? Katanya uang gedungnya tinggi, banyak anak pejabat yang sekolah di sana bisa pakai uang ya?”
         “Ah tidak juga buk, asalkan persyaratannya memenuhi saja tidak harus begitu..”
         “Halah, lha itu nyatanya berita yang beredar ada anak yang tidak pintar bisa masuk kesana? Pasti pakai uang itu? Sudah terkenal kalau yang bisa sekolah di sana anaknya orang berpunya.”
Lagi-lagi aku hanya tersenyum sambil lalu.
         “Sayang sekali ya, anak satu-satunya kok malah ambil bahasa. Padahal masuk IPA nanti masuk kuliah banyak pilihannya lho..”
         “Ndak kok buk, saya lebih tertarik di bidang bahasa, terlebih bahasa asing,”
         “Lha apa dulu tidak didorong ibu masuk IPA? Nanti mau kuliah di mana?”
         “Dekat saja buk, di Satya Wacana..”
         “Lho kok cuma Satya? Kok tidak ke Negeri saja? Yang lebih bagus begitu?”
         “Satya Wacana juga bagus kok buk,,”
         “Saya dengar gaya hidup mahasiswa di sana itu mewah? Apa-apa harus canggih,”
Aduh, rasanya kesabaranku mulai menguap mendengar cercaan sang ibu.
         “Katanya di sana itu anak orang kaya bawaanya mobil, laptop, HP terbaru dan barang-barang mahal, gayanya juga mentereng..”
         “Ah ibu ini..”
         “Lha itu nyatanya yang...”
         “Maaf bu permisi dulu, ibu saya sudah memanggil pulang. Mari.”
         Aku bergegas pergi meninggalkan si ibu yang sepertinya kurang puas dengan segala jawabanku. Yah maaf-maaf saja, menilik dari kata-kata si ibu yang melulu ‘katanya-katanya’, ‘dengar-dengar’, dan kebanyakan memprotes, aku merasa risih mendengarnya. Memangnya kenapa kalau aku mengambil jurusan bahasa? Memangnya kenapa kalau aku berkuliah di Satya? Setelah bertahun-tahun sesudahnya, ada sebuah pelajaran yang dapat diambil dari percakapan singkat tersebut.
         Orang boleh berpendapat, boleh berargumen dengan apa yang mereka pikir itu paling baik dan benar. Tetapi tidaklah adil kalau kita memaksakan apa yang kita yakini benar pada orang lain. Mengapa harus berpendapat kalau SMA 1 ini begini-begitu, harus ini-itu, sedangkan mereka sendiri tidak mengalaminya? Mereka cuma bilang ‘katanya’ namun suka berspekulasi berlebihan tentang suatu hal. Memang ada benarnya juga, tapi tidaklah perlu berlebihan menilai sesuatu… Aku masih ingat di kala itu harus belajar keras dan berjuang agar bisa diperhitungkan oleh teman-temanku. Pada awalnya hal itu sangat menyiksa, mencari jati diri dan menentukan pilihan di mana kita harus berada. Tapi akhirnya aku sadar, aku tidak sekaya dan sejenius orang-orang itu. Aku baru menemukan kegembiraan setelah masuk kelas bahasa. Aku menjadi diriku apa adanya, sepaham dengan orang sekitarku, tanpa harus berpura-pura menjadi orang lain. Yang penting adalah bagaimana kita bersikap dan bergaul. Cukuplah menjadi diriku saja, aku dihargai dan menjadi berharga. Kami orang bahasa, bukan orang ekonomi dan IPA. Kami berkomunikasi, bukan hitung-hitungan masalah uang ataupun prestasi.
                Tentang masalah pilihan untuk berkuliah, aku juga bangga bisa berada di sini oleh karena pilihan hati dan bakatku, bukan karena keinginan orang lain. Siapa bilang kehidupan mahasiswa harus ‘wah’, biasa saja tuh. Sadar bahwa bukan orang yang berlebihan dalam hal harta, itu yang selalu menjadi garis batas pengingatku. Orang tua sudah bersusah payah menguliahkanku agar mendapat title S1. Kami hanya keluarga biasa yang lebih suka dikenal ‘orang berpendidikan’ daripada dibilang ‘orang berpunya’. Aku tahu pada dasarnya orang-orang berorientasi pada kedudukan dan harta, itu manusiawi. Kadang aku pun berpikir hal yang sama, mengapa begini-begitu. Tetapi, kita tidak akan tahu bagaimana rasanya bersyukur dengan apa yang kita punya secukupnya ketika kita mempunyai hal yang berlebih. Orang tak akan merasa puas pada apa yang sudah ada di depan mereka. Satu hal yang membuatku selalu ingat dengan nasihat ibu : “Bersyukurlah dengan apa yang ada, namun bukan berarti cukup seadanya. Ada batas tertentu ketika kita mengingini sesuatu. Jangan dengar terlalu berlebihan karena pada akhirnya kita sendiri yang akan kesusahan. Semuanya harus secukupnya, tidak kurang, namun  tidak berlebihan.”

2 comments:

bualan belaka said...

woh, eneng to crita kyo ngene??
nyebelin banget ibuk2e..
aq stuju dgn pemikiranmu..
jos!

Unknown said...

huum ki... real tenan,, temapukk